Literasi dan Edukasi Hukum di Yogyakarta
  • Berita
  • 23/07/2025
  • 44

Literasi dan Edukasi Hukum di Yogyakarta

KEBEBASAN BERKARYA DAN TANGGUNG JAWAB DALAM PRODUKSI FILM


Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, berpengaruh besar terhadap peredaran dan pertunjukan film, dimana film saat ini tidak hanya disaksikan melalui layar bioskop dan televisi, namun dapat diakses melalui internet, platform digital dan media sosial. Hal ini berbanding lurus dengan meningkatnya berbagai bentuk produksi film dan semakin banyak pula media pertunjukkannya. Sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman Lembaga Sensor Film (LSF) merupakan lembaga negara yang bersifat tetap dan independen bertugas melakukan penelitian dan penilaian terhadap judul, tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan suatu film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum dalam rangka melindungi masyarakat dari dampak negatif film dan iklan film. 


Stigma yang beredar di masyarakat dan kalangan sineas bahwa LSF “menggunting” film tentu tidak sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut. Fakta ini menjadi sebuah tantangan serius bagi LSF untuk dapat memberikan edukasi terkait peraturan perundang-undangan yang menjadi pedoman dalam penyensoran sekaligus mengajak para pembuat film dan calon pembuat film untuk memahami apa saja hal-hal sensitif yang sebaiknya tidak ditampilkan dalam suatu proses produksi film. 


Kepala Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Ibu Dian Lakshmi Pratiwi, S.S., M.A, dalam sambutannya beliau menyebutkan bahwa “Pemerintah Daerah DIY telah melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan dunia perfilman yang bertujuan untuk melestarikan budaya.


Budaya yang ada di DIY merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keistimewaan Yogyakarta. Kami juga berharap kegiatan ini dapat membangkitkan semangat kita untuk bersama-sama membangun ekosistem film yang lebih baik dan menumbuhkan kesadaran dan kepedulian serta memperhatikan teman-teman para sineas di DIY untuk lebih mengangkat kearifan-kearifan lokal atau objek dan subjek kebudayaan di DIY sehingga nanti dapat semakin berkembang.


Selain itu, melalui kegiatan ini dapat meningkatkan pemahaman siswa dan mahasiswa jurusan perfilman, sineas dan calon pembuat film terhadap peraturan perundang-undangan terkait dengan konten film, terutama dalam penetapan kelayakan, penggolongan usia penonton, dan kriteria sensor film, serta peningkatan pemahaman bahwa setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan atau dipertunjukkan wajib memperoleh Surat Tanda Lulus Sensor (STLS).” Hal serupa juga disampaikan oleh Wakil Ketua LSF, Noorca M. Massardi, dalam sambutannya. “Bahwa LSF hadir bukan untuk memangkas kreativitas berkarya film, sebaliknya justru LSF menjaga tontonan yang berkualitas bagi masyarakat. 


LSF tidak menggunting film, akan tetapi mekanisme kerja LSF adalah meneliti dan menilai film berdasarkan catatan hasil penyensoran, jika terdapat hal-hal yang bertentangan dengan Undang-undang maka LSF akan mengembalikan film tersebut kepada pemilik film untuk direvisi. LSF juga membuka ruang dialog bagi pemilik film yang keberatan dengan keputusan yang dikeluarkan LSF”. Kegiatan ini juga menghadirkan pembicara yang ahli dibidangnya. Dari LSF RI hadir sebagai narasumber yaitu Ketua Subkomisi Desa Sensor Mandiri dan Komunitas LSF RI, Bapak Hairus Salim, dan praktisi film Bapak Viko Amanda.


Dalam sesi diskusi kedua narasumber mengangkat perspektif yang berimbang. Bapak Hairus Salim membahas sisi regulasi dalam perfilman dan penyensoran, Bapak Viko Amanda membahas sisi kreativitas sineas dan batasan-batasannya. Acara yang diikuti oleh peserta dari para siswa SMK dan mahasiswa jurusan perfilman, komunitas film, instansi pemerintahan, dan juga rumah produksi ini menghasilkan diskusi yang sangat interaktif.